Senin, 21 November 2011

Cycle Economy: Ekonomi Berwawasan Lingkungan

Dalam terminologi ekonomi, proses produksi adalah transformasi nilai guna dari barang sebagai sarana produksi yang diolah. Nilai barang itu sendiri dialihkan ke dalam produk baru yang berbeda. adalah Saat ini mayoritas korporasi di dunia menganut proses produksi dengan sistem produksi linier. Sistem produksi linier adalah suatu mekanisme dalam memproduksi barang yang memiliki daur resourceàprocessàproductàwaste. Resource dalam konteks ini dimaknai sebagai bahan-bahan produksi yang diambil dari alam. Misalnya kayu yang ditebang dari hutan. Adapun waste  adalah barang hasil produksi yang sudah tidak lagi memiliki nilai guna.

Sistem ekonomi linier akan membuat alam tereksploitasi untuk memenuhi kebutuhan produksi. Hal ini disebabkan paradigma penggunaan input proses produksi akan mengambil resource dari alam kembali. Beberapa implikasinya antara lain kondisi hutan bumi yang bertambah gundul dan tingkat emisi dan polusi yang tinggi.
Oleh karena itulah, perlu adanya suatu sistem baru dalam proses produksi yang dapat menjawab tantangan tersebut. Dalam jurnalnya berjudul Modelling and Simulation of a System Dynamics Model for County Cycle Economy, Li Li dan Jiuping Xu memaparkan tentang cycle economy. Sistem ini menekankan kepada penyikapan terhadap resource produksi. Menurutnya, barang yang sudah tidak memiliki nilai guna dapat dimanfaatkan kembali untuk menjadi resource dalam proses produksi.
Dalam cycle economy, mekanisme proses produksi barang menjadi resourceàprocess àproductàresource. Jerman dan Jepang adalah contoh negara yang pernah menerapkan sistem ini dalam kebijakan ekonomi negaranya. Dalam tataran teori, penerapan sistem produksi ini akan meminimalisasi eksploitasi resource dari alam, mengurangi tingkat polusi, dan meningkatkan tingkat pemanfaatan suatu produksi. Untuk membuktikan kebenaran teori tersebut secara ilmiah, Li Li dan Jiuping Xu menggunakan suatu pemodelan menggunakan System Dinamics Model dengan Group Method of Data Handling (GMDH). Pemodelan ini akan memberikan deskripsi sejauh mana penerapan cycle economy ini memiliki implikasi positif bagi ekonomi dan lingkungan pada interval 15 tahun mendatang.
Berdasarkan simulasi dan pemodelan dengan system dynamics yang telah dilakukan, diperoleh beberapa analisis. Analisis tersebut memperkirakan keadaan suatu variabel pada 15 tahun mendatang yang dimulai dari tahun 2005. Pengembangan industri adalah kunci utama pengembangan ekonomi dalam cycle economy. Dengan demikian, seharusnya pemerintah memperhatikan bagian ini dalam pengembangan ekonomi berbasis sistem ini. Pengembangan industri akan memberikan dampak terhadap lingkungan. Perlindungan terhadap lingkungan difokuskan seiring dengan proses tersebut. Pihak-pihak terkait harus memperhatikan siklus pemanfaatan air, melindungi sumber mata air, dan mengurangi jumlah emisi residu.
Demikian pula dengan laju pertumbuhan area hutan yang juga meningkat hingga mencapai 78% pada tahun 2020. Hal ini disebabkan implementasi dari cycle economy yang mengurangi eksplorasi hutan dan membuat produk dapat digunakan kembali dalam suatu siklus industri. Implementasi dari cycle economy juga terbukti dapat mengurangi pemanfaatan sumber daya dan mendapatkan lebih banyak lagi keuntungan ekonomis lainnya. Hal ini disebabkan bertambahnya pengelolaan air limbah yang menyebabkan pemanfaatan air bersih berkurang.
Dengan diterapkannya sistem produksi dalam aktivitas ekonomi berbasis cycle economy, ada harapan bahwa pemerintah dan industri dapat juga berkontribusi dengan menerapkan sistem ini. Apalagi di tengah derasnya isu global warming di dunia. Sekarang tinggal menunggu, apakah pemerintah dan pengusaha di Indonesia bersedia menjalankannya?

Harga Perbedaan

Banyak orang mempermasalahkan, betapa tidak enaknya ada perbedaan. Karena berbeda, maka kita bisa saling iri, gengsi, nge-gang, bermusuhan. Bukan hanya tentang sikap, tapi juga kata, pilihan pemilu, klub sepakbola, atau model sepatu dan rambut. Tak hanya antarteman, ekses berbeda ini sangat mungkin menjangkiti keluarga, saudara seayah atau seibu, atasan bawahan, atau siapapun juga.

Pekan kemarin, saya menemukan suatu pesan unik tentang menyikapi perbedaan. Pelajaran ini disampaikan lewat film “3 hati, dua dunia, satu cinta”. Sinema garapan Benni Setiawan ini, berkisah tentang jalinan asmara sepasang anak manusia berbeda agama. Antara Rosid , seorang perjaka Arab-Betawi muslim dengan Delia, seorang gadis Manado katolik. Namun demikian, ternyata perbedaan dalam keyakinan itu tak seindah dan semudah yang dibayangkan keduanya. Lantaran, jalinan cinta berbeda agama itu ternyata mendapat tantangan kuat dari pihak keluarga masing-masing.
Keduanya tetap bersikukuh mempertahankan hubungan itu, meskipun orang tua Rosid melamarkan untuknya seorang gadis muslim, teman bapaknya. Rosid pun kabur dari rumah. Demikian juga dengan Delia. Ia rela menolak untuk bersekolah di Amerika, karena tawaran itu datang untuk menjauhkan hubungannya dengan Rosid. Kedua orang tuanya frustasi, kehabisan akal. Dan akhirnya mereka mempersilakan anaknya untuk memilih apapun yang terbaik bagi mereka.
Kesudahan dari cerita ini sangat menyentuh. Keduanya akhirnya memutuskan untuk mengakhiri kisah cintanya. Kalimat menarik yang keluar dari Delia, “buat apa kita bahagia, kalau orang-orang yang kita cintai menderita?”. Mungkin ironi. Tapi, mereka telah menjatuhkan pilihan atas “perbedaan” mereka.
Memang ada harga yang harus dibayar atas perbedaan. Harga itu tergantung dari cara pandang kita, dari ilmu kita, dari lingkungan kita. Kadang kita harus membayarnya dengan harga mahal. Ada kalanya, kita bisa mengkompromikannya. Tapi, tetap. Selalu ada harganya. Bukan hanya tentang perbedaan. Tapi, setiap pilihan dalam keseharian kita.

Karena Berbuat Lebih Berarti

Optimisme adalah kata yang sulit kita dengarkan saat ini. Apalagi jika kita berbicara tentang negeri kita sendiri. Di semua sektor, semuanya memalukan. Korupsi di level birokrasi. Pendidikan sulit terjangkau dan mahal. Layanan publik tak layak. Dan ketika kita mencari kebobrokan itu, perlu berlembar-lembar halaman untuk selesai menuliskannya.

Saya seringkali terpukau oleh orang-orang yang punya kemampuan berbicara yang luar biasa di negeri ini. Kadang isinya begitu idealis, penuh makna. Lain kali tata bahasanya luar biasa. Atau pilihan kata yang digunakan menunjukkan tingkat intelektualitasnya yang tinggi. Orang-orang jenis ini saya temui di berbagai tempat. Saya melihatnya di televisi. Membaca idenya di surat kabar atau buku. Acapkali, malah saya temui atau dengar langsung. Tanpa perantara.
Tapi, kebobrokan itu tak akan selesai hanya dengan bicara. Ia butuh lebih dari itu. Perubahan butuh aksi. Perlu kerja nyata dan kerja keras. Mungkin tak selesai esok pagi, bulan depan, atau tahun depan. Bisa jadi tak akan kita rasakan perubahan itu karena generasi anak cucu kita yang akan merasakannya nanti. Begitulah beberapa orang telah mengerjakannya. Mimpi-mimpi besar untuk Indonesia yang lebih baik. Ada PPSDMS, Indonesia Future Leaders, Indonesia Mengajar, dan ribuan kerja-kerja sepi lain yang punya tujuan sama, membangun masa depan cerah untuk negeri ini.
Hentikanlah keluh kesah. Atau gerutuan tentang betapa malangnya nasib negeri ini. Percayalah. Saat ini, telah ada bagian di bangsa ini yang sedang menyalakan obor perubahan dan kebangkitan. Saya, Anda, kita semua pun bisa turut ambil bagian dalam kerja besar ini. Kuncinya cukup satu: berbuatlah!

Percaya Siapa?

Pernah seseorang datang kepada saya, menawari saya untuk berinvestasi di sebuah usaha. Kalau dihitung, setahun bisa dapat 20% lebih banyak dari modal yang saya setorkan pertama kali. Penawaran ini sangat menarik karena jauh di atas nilai inflasi, apalagi suku bunga bank. Tidak perlu lama berpikir, maka saya pun setor modal. Yang nominalnya mencapai tujuh digit dalam rupiah
Suatu waktu ada permohonan bantuan yang datang kepada saya. Tentang anak sekolah yang butuh bantuan untuk membayar biaya sekolahnya yang lama menunggak. Saya perlu waktu lama untuk menentukan, akan menyumbang ataukah tidak. Kalau tidak, tentu saya harus membuat alasan yang kuat sehingga terasa wajar bahwa saya memang layak untuk tidak membantu. Akhirnya, saya menyumbang. Tapi dalam angka yang jauh lebih rendah dari apa yang saya alokasikan untuk usaha, pada kasus sebelumnya.
Saya tahu bahwa yang namanya infaq, shodaqoh, zakat atau apapun itu sudah dijanjikan ganjaran yang luar biasa banyaknya. Sudah dipastikan. Bisa sepuluh kali lipat. Tujuh puluh kali lipat. Tujuh ratus. Bahkan sampai tidak terhingga. Dibandingkan dengan kelebihan 20% dan ketidakpastiannya, pada kenyataannya saya memilih mengeluarkan lebih banyak untuk balasan yang lebih sedikit dengan tingkat pengembalian yang belum terjamin. Saya lebih percaya rekan kerja saya daripada Tuhan saya sendiri. Semoga hanya saya. Anda tidak.

Tentang Ideologi dan Hati

Membaca setiap karya Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) layaknya belajar bahwa kita manusia sesungguhnya memiliki begitu banyak kekayaan berpikir. Punya kecerdasan yang tidak hanya mentok di satu sudut pandang dan satu tahap proses. Namun otak kita jumud karena pendidikan tak memberikan ruang dan informasi instan dunia maya terus menjejali.
Ada 6 gagasan besar dalam buku “Demokrasi La Roiba Fih”. Salah satunya menyindir tentang fenomena populis, di mana saat ini setiap orang ingin menjadi unggul di atas orang lain.

.. Tiba-tiba pula mas wartawan nyeletuk, “Drumband TK-nya Mbak pernah juara?”
Sang Kolopaking yang sedang naik pitam menjawab, “Jangan sampai juara! Bahaya bagi perkembangan anak-anak dan manusia. Aku bikin sekolahan bukan untuk hebat-hebatan di antara sesama manusia. Bukan untuk pertandingan dan mempermalukan satu sama lain. Anakku sendiri saja aku jaga jangan sampai dia merasa unggul dari siapapun juga, apalagi kasih piala atau sertifikat. Manusia hidup itu saling menghormati saja, saling diam-diam menyadari keunggulan masing-masing. Karena tidak ada orang unggul-unggul benar. Selalu unggul A tidak unggul B. Tuhan memberi kelebihan pada setiap orang secara berbeda-beda, kita jangan mengotak mereka dalam kebodohan yang disebut keunggulan dan kehebatan!”
Cak Nun mengungkap pula kisah tentang Pak Patul, pedagang bakso yang membagi uang yang tiap kali ia terima dari pelanggannya ke tiga kotak. Kotak pertama untuk anak istrinya, sebagai kewajiban utama dalam hidupnya. Kotak kedua untuk zakt, infaq, qurban, dan sejenisnya, sebagai representasi milik orang lain. Kotak ketiga adalah milik Tuhan, karena dari recehan yang dimasukkan akan digunakannya untuk pergi haji.
Tak melulu tertarik hal besar dan serius, di salah satu tulisannya Cak Nun mengupas kebiasaan orang Madura yang selalu melepas sepatu sebelum masuk ke tempat manapun. Ketika rombongan orang Madura ini hendak menghadap Presiden, mereka melepas sandalnya di bus sebelum masuk ke istana. Petugas istana menegur mereka. Lantas perwakilan Sampang ini menjawab, “Lho Sampeyan ini bagaimana, aku menghadap Tuhan saja dak pakai sepatu, kok Presiden mau lebih hebat dari Tuhan sehingga kita diwajibkan pakai sepatu?“. Heheheh…
Tulisannya mengalir, kuat secara ideologi namun mampu menyentuh akal dan emosi. Di balik kehandalannya mengendalikan pena, Cak Nun tetaplah orang yang tahu diri. Tak mau jumawa dengan puja puji. Apalagi sekedar terkenal hanya untuk nampang di televisi :)
… Di saat lain aku bertanya, “Kalau pergi umroh atau haji, ketika berthawaf: sampeyan cenderung mendekat-dekat ke Ka’bah termasuk supaya bisa mencium Hajar Aswad ataukah cenderung meletakkan diri jauh-jauh dari rumah Allah?”. 100 persen menjawab “mendekat-dekat ke Ka’bah”. Terhadap dialog tema ini kadang aku menggoda, “Mohon maaf aku sendiri termasuk orang yang takut-takut mendekat ke rumah Allah. Datang ke Makkah saja pakewuh. Bahkan ketika berthawaf aku hanya melirik sedikit-sedikit atau mencuri pandang ke Ka’bah. Sebab aku merasa tidak pantas bertamu ke rumah Allah. Bau aku busuk. Kelakuan aku buruk. Tidak ada cukup kepantasan untuk berada di dekat rumah Allah”.

Buang Segera Uangmu !!


Tentu teman-teman berpikir bahwa saya gila dengan menuliskan judul di atas. Tenang dulu. Jangan segera menjustifikasi gila. Ntar saya gila beneran, lho 
Oke, sebelumnya kita satukan pemahaman dulu bahwa uang yang saya maksud di sini, adalah uang yang sudah kita kenal sehari-hari sebagai alat tukar, satuan hitung, dan juga barang dagangan. Mungkin kita jarang tertarik dengan data dan fakta tentang uang yang banyak manusia banggakan itu. Faktanya adalah, uang tersebut terkena inflasi dari tahun ke tahun. Gampangnya, inflasi dapat dianalogikan seperti ember bocor. Ember itu diisi air penuh, airnya akan selalu berkurang. Merembes ke mana-mana. Seperti itulah nilai uang yang kita pakai, gunakan, dan simpan selama ini. Mengapa uang terkena inflasi? Salah satu penyebabnya adalah bahwa nilai intrinsik uang tidak sama dengan nilai ekstrinsiknya. Karena itulah, uang “dengan mudah” dapat dicetak sesuka hati pembuatnya.

Kalau Pemerintah sedang menggalakkan “Ayo Tabung di Bank”, justru saya malah menyarankan “Jangan Menabung di Bank”! :). Bank tidak mampu menahan “ember bocor”. Inflasi bahan pangan di Indonesia rata-rata naik 12% selama 5 tahun terakhir. Adapun bunga bank, bagi yang setuju dengan keberadaannya, tak lebih dari 7%. Itupun belum dipotong pajak dan lain-lainnya. Jelas, bank tak menolong! Lantas, ke mana dong uang yang kita miliki harus tersalurkan? Ada beberapa alternatif yang bisa kita gunakan untuk “menyimpan” uang kita.
1. Berwirausaha
Inilah sebaik-baik pengelolaan uang. Dari 10 pintu rezeki, 9 di antaranya adalah dari berwirausaha. Misal kita sudah bekerja, dan tidak sempat untuk mengurus wirausaha sendiri, salurkan saja ke orang lain yang membutuhkan modal untuk berwirausaha. Banyak lho. Di dekat rumah. Di dekat kos. Buat pedagang. Buat petani. Buat peternak. Dan posisi lainnya. Tidak harus berupa barang. Wirausaha dalam bentuk jasa pun juga bisa.
Wirausaha akan membuka lapangan pekerjaan baru, memutar harta lebih cepat, dan juga mendistribusikannya lebih merata. Juga akan memberikan keberkahan dan kemandirian. Tidak hanya bagi pribadi dan masyarakat, dalam lingkungan yang lebih luas, akan memandirikan negara juga. Negeri kita yang subur dan kaya raya ini, ternyata sangat bergantung dengan kebutuhan impor. Ada impor beras, garam, teknologi, hingga kapas. Kita sudah terjajah lahir dan batin.
“Wahai Rasulullah, apa pekerjaan yang terbaik ? (maksudnya yang paling halal dan paling berkah)”, Rasulullah menjawab, “Pekerjaan yang dilakukan dengan tangannya sendiri dan transaksi jual beli yang mabrur”. (HR. Ahmad dan Bazzar).
2. Investasi komoditas
Oke, mungkin ada sebagian di antara kita yang riskan dengan wirausaha. Takut salah mengelola. Yang niatnya untung, malah jadi rugi. Kita bisa mencoba investasi lainnya. Yaitu investasi komoditas. Hati-hati, ini bukan sembarang komoditas. Sepanjang pengetahuan saya, komoditas yang “relatif aman” adalah tanah dan rumah. Kedua komoditas ini nilainya relatif naik terhadap uang kartal. Nilai kenaikannya pun di atas nilai inflasi. Berapa besarnya? Tergantung dari lokasi dan permintaan.
Komoditas lainnya hampir semua turun nilainya. Karena itu, janganlah berhutang untuk memiliki barang selain dua komoditas itu. Nilai barangnya turun, sedangkan kita dipaksa untuk membayar jauh lebih banyak dibandingkan seharusnya. Kalau memang betul-betul perlu, arahkan hutang itu untuk kegiatan produktif. Misalnya hutang motor untuk antar barang dagangan. Hutang blackberry untuk kontak dengan klien terkait pekerjaan yang menghasilkan uang. Selain itu, lebih baik jangan.
3. Simpan emas
Ada pula investasi selain dua poin di atas, yaitu investasi emas. Emas yang dimaksudkan di sini, bukanlah emas perhiasan, melainkan emas batangan. Di Indonesia, salah satu pembuat emas batangan ini adalah ANTAM. Apa bedanya emas batangan dan perhiasan? Jika kita membeli emas perhiasan, biaya yang kita keluarkan adalah emas yang kita beli serta biaya pembuatannya. Adapun jika dijual, kita hanya mendapat harga senilai beratnya, tanpa dihitung biaya pembuatannya. Emas batangan tidak demikian. Kita membeli dan menjual, berpatokan pada berat emasnya saja.
Salah satu keunikan logam emas ini adalah kestabilan nilainya. 1400 tahun lalu, saat Nabi meminta seseorang untuk membeli kambing, harganya 1 dinar. Saat ini. harga kambing juga tetap 1 dinar (setara 1,7 juta rupiah). Emas tahan terhadap inflasi. Pengalaman pribadi ketika membeli emas batangan ini pada tahun 2006-2007, harganya sekitar 180 ribu per gramnya. Adapun pada saat ini, harga emas, mencapai 390-400 ribu pergramnya. Nilai emas yang saya miliki naik sekitar 122% berdasarkan nilai rupiah dari nilainya semula. Dan itu hanya perlu waktu 4-5 tahun. Bunga atau bagi hasil bank tak sanggup menyamainya.
Hal menarik yang lain, ternyata biaya haji berkurang jika digunakan emas sebagai nilai ukurnya. Saat ini, hanya dibutuhkan tak lebih dari 90 gram emas. Padahal tahun 1990-2000an, biaya haji lebih dari 150 gram emas. Investasi mas batangan ini cocok untuk investasi jangka menengah dan jangka panjang. Minimal 1 tahun ke atas. Mengapa demikian? Sama seperti harga komoditas lain, nilai emas kadang naik dan turun. Namun, jika dilihat dalam jangka menengah dan panjang, nilai emas selalu naik terhadap kurs mata uang kartal yang kita pakai.
Bentuk emas batangan ini beratnya beraneka ragam. Ada yang 1 gram, 10 gram, 20 gram, 50 gram, bahkan lebih. Cocok untuk tabungan pendidikan, tabungan haji, pensiun, dan sebagainya.
Demikian beberapa alternatif cara “membuang uang” yang saya ketahui. Kurangi tabungan kita di bank. Sisakan seperlunya saja. Seminimal mungkin! Sekedar untuk kebutuhan sehari-hari. Lainnya, “buang saja”!