Senin, 21 November 2011

Tentang Ideologi dan Hati

Membaca setiap karya Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) layaknya belajar bahwa kita manusia sesungguhnya memiliki begitu banyak kekayaan berpikir. Punya kecerdasan yang tidak hanya mentok di satu sudut pandang dan satu tahap proses. Namun otak kita jumud karena pendidikan tak memberikan ruang dan informasi instan dunia maya terus menjejali.
Ada 6 gagasan besar dalam buku “Demokrasi La Roiba Fih”. Salah satunya menyindir tentang fenomena populis, di mana saat ini setiap orang ingin menjadi unggul di atas orang lain.

.. Tiba-tiba pula mas wartawan nyeletuk, “Drumband TK-nya Mbak pernah juara?”
Sang Kolopaking yang sedang naik pitam menjawab, “Jangan sampai juara! Bahaya bagi perkembangan anak-anak dan manusia. Aku bikin sekolahan bukan untuk hebat-hebatan di antara sesama manusia. Bukan untuk pertandingan dan mempermalukan satu sama lain. Anakku sendiri saja aku jaga jangan sampai dia merasa unggul dari siapapun juga, apalagi kasih piala atau sertifikat. Manusia hidup itu saling menghormati saja, saling diam-diam menyadari keunggulan masing-masing. Karena tidak ada orang unggul-unggul benar. Selalu unggul A tidak unggul B. Tuhan memberi kelebihan pada setiap orang secara berbeda-beda, kita jangan mengotak mereka dalam kebodohan yang disebut keunggulan dan kehebatan!”
Cak Nun mengungkap pula kisah tentang Pak Patul, pedagang bakso yang membagi uang yang tiap kali ia terima dari pelanggannya ke tiga kotak. Kotak pertama untuk anak istrinya, sebagai kewajiban utama dalam hidupnya. Kotak kedua untuk zakt, infaq, qurban, dan sejenisnya, sebagai representasi milik orang lain. Kotak ketiga adalah milik Tuhan, karena dari recehan yang dimasukkan akan digunakannya untuk pergi haji.
Tak melulu tertarik hal besar dan serius, di salah satu tulisannya Cak Nun mengupas kebiasaan orang Madura yang selalu melepas sepatu sebelum masuk ke tempat manapun. Ketika rombongan orang Madura ini hendak menghadap Presiden, mereka melepas sandalnya di bus sebelum masuk ke istana. Petugas istana menegur mereka. Lantas perwakilan Sampang ini menjawab, “Lho Sampeyan ini bagaimana, aku menghadap Tuhan saja dak pakai sepatu, kok Presiden mau lebih hebat dari Tuhan sehingga kita diwajibkan pakai sepatu?“. Heheheh…
Tulisannya mengalir, kuat secara ideologi namun mampu menyentuh akal dan emosi. Di balik kehandalannya mengendalikan pena, Cak Nun tetaplah orang yang tahu diri. Tak mau jumawa dengan puja puji. Apalagi sekedar terkenal hanya untuk nampang di televisi :)
… Di saat lain aku bertanya, “Kalau pergi umroh atau haji, ketika berthawaf: sampeyan cenderung mendekat-dekat ke Ka’bah termasuk supaya bisa mencium Hajar Aswad ataukah cenderung meletakkan diri jauh-jauh dari rumah Allah?”. 100 persen menjawab “mendekat-dekat ke Ka’bah”. Terhadap dialog tema ini kadang aku menggoda, “Mohon maaf aku sendiri termasuk orang yang takut-takut mendekat ke rumah Allah. Datang ke Makkah saja pakewuh. Bahkan ketika berthawaf aku hanya melirik sedikit-sedikit atau mencuri pandang ke Ka’bah. Sebab aku merasa tidak pantas bertamu ke rumah Allah. Bau aku busuk. Kelakuan aku buruk. Tidak ada cukup kepantasan untuk berada di dekat rumah Allah”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar