Nasib perekonomian warga pedesaan di Jawa Barat sejak era reformasi  bergulir seakan tak pernah beringsut naik lebih baik. Bahkan seiring  pergantian kepemimpinan, warga masyarakat pun melupakan lembaga ekonomi  yang bernama Koperasi Unit Desa (KUD), karena pemerintah tak pernah  serius membangkitkan warisan intelektual Bung Hatta tersebut.
Mungkin alasannya sebagai daerah yang tak layak jual, pedesaan sering kali dipandang sebelah mata.
Berbeda dengan perhatian lebih pada wilayah perkotaan yang memiliki  nilai jual dan menghasilkan pendapatan (income) bagi daerah provinsi.  Akibatnya, KUD sebagai warisan asli (genuine) masyarakat pedesaan  meredup bak cahaya lilin yang terhembusi angin malam.
Teramat mengkhawatirkan sekali kalau kondisi demikian harus menimpa  sebuah komunitas warga masyarakat yang sebagian besar menduduki wilayah  Jabar ini. Sebab, tanpa penopang yang kokoh dalam mengembangkan sisi  perekonomian secara kolegial dalam tradisi sosial warga pedesaan,  tentunya akan berimplikasi pada penurunan keberdayaan warga untuk  mempertahankan hidup.
Pertanyaannya, bagaimanakah dengan eksistensi KUD di tatar Sunda yang  secara demografis warga pedesaan sebagai pengamal KUD banyak mendiami  wilayah Jabar? Lalu, mengapa kecenderungan pemerintah lebih  menganaktirikan warga pedesaan yang memiliki model perekonomian “nyunda”  seperti terkandung dalam sebuah sistem perekonomian kolegial koperasi?  Lantas, prioritas macam apakah yang mesti dilakukan oleh para pemimpin  berkenaan dengan pemeliharaan koperasi di wilayah Jabar, khususnya bagi  warga pedesaan?
Menegasikan privatisasi modal
Dalam sistem sosial-ekomomi warga Sunda, sejak tahun 1940-an, ketika  akan menghadapi musim paceklik (halodo) kita mengenal tradisi  perekonomian “nyunda” yang mencerminkan prinsip kekeluargaan (kolegial).  Yakni adat kebiasaan dalam mengumpulkan beras sekitar satu canting  (baca: satu sendok) oleh kepala keluarga setiap bulan dan dikumpulkan di  lumbung desa serta terkenal dengan istilah “beas perelek” (Harry  Hikmat, 2004: 140).
Model perekonomian yang mengandung nilai kebersamaan ini adalah satu  dari sekian banyak ciri khas perekonomian warga yang berkarakter  “nyunda”. Sama persis dengan konsep perekonomian yang terkandung dalam  gagasan Koperasi Unit Desa dengan azas kekeluargaannya.
Hal ini pun mengindikasikan bahwa secara ekonomis karakteristik warga  Sunda menganut azas kekeluargaan dan atas pertimbangan rasa solidaritas  sosial. Bahkan saking kuatnya rasa solidaritas perekonomian masyarakat  Sunda, ketika membangun rumah, misalnya, masih ada sampai sekarang warga  yang ”sabilulungan” kerja bakti bergotong royong secara suka rela.
Meskipun secara kuantitas, seiring perkembangan zaman ke arah  peradaban “materialistik”, jumlahnya bisa dihitung jari karena semakin  meluasnya kebutuhan hidup masyarakat. Budaya hidup seperti inilah yang  telah lekang dimakan usia, dan ditinggalkan “ruang-waktu” sehingga  ketika melakukan aktivitas perekonomian, warga pedesaan pun cenderung  memprivatisasi modal.
Kekayaan tak mau dibagi-bagi, dalam hal ini untuk memberdayakan kualitas  perekonomian warga di sekitar sekalipun. Maka, bermunculan  “kelas-kelas” dalam stratafikasi sosial masyarakat pedesaan, meminjam  istilah bahasa Sunda bertebarannya “jalma jegud”, yakni seorang warga  yang menguasai kekayaan di salah satu daerah perkampungan. Sebenarnya,  tujuan Bung Hatta mendirikan Koperasi adalah untuk mengikis habis sikap  dan tindakan menguasai (privatisasi) modal oleh segelintir individu  warga masyarakat.
Jadi, meskipun istilah “jalma jegud” ada, dengan konsep perekonomian  kolegial yang digagas oleh koperasi akan berimplikasi positif terhadap  kesadaran orang-orang kaya ketika menyaksikan kondisi perekonomian warga  sekitarnya. Alhasil, kekayaan tidak berputar di sekitar itu-itu saja.  Namun, karena sikap hidup masyarakat telah berubah 180 derajat dari  kondisi warga “nyunda” ke kondisi mekanistik, maka yang muncul adalah  solidaritas sosial yang mekanik, bahkan hanya terikat oleh ikatan  profesi semata.
Seperti yang tercermin pada karakteristik perekonomian warga  perkotaan yang cenderung ind ividulasitik. Karena itu, menegasikan  privatisasi modal sebagai imbas dari menjamurnya konsep perekonomian  “neo-liberal” di zaman, katanya, modern ini adalah sebuah keniscayaan.  Sebab, tanpa adanya distribusi yang adil disinyalir akan banyak  bertebaran kesetimpangan, ketidakadilan, dan ketertindasan masyarakat  “grassroot”, dalam hal ini adalah menggejalanya kemiskinan warga di  pedesaan.
Karena itu, jangan pernah kita, meminjam istilah Hikmat Budiman dalam  bukunya Lubang Hitam Kebudayaan (2003), mengalami “amputasi sosial”.  Sebab, sikap dan tindakan perekonomian pun akan mencerminkan kelumpuhan  “sense of crisis” ketika berlalu lalang dengan warga di pedesaan yang  sedemikian kalut menghadapi karut-marut kehidupan.
Prioritaskan
Meskipun ada suntikan dana dari Pusat untuk menanggulangi kemiskinan,  kerap kali disalurkan dengan tata cara yang “tak tepat sasaran”.  Misalnya, pemberian bantuan tunai langsung (BLT) pada warga hanya  diberikan secara langsung per bulan untuk dihabiskan, tanpa ada upaya  pengembangan keterampilan hidup. Dalam kondisi demikian, warga pedesaan  tidaklah membutuhkan uang ratusan ribu yang hanya bisa dinikmati dalam  hitungan hari saja. Namun, memerlukan sebuah lembaga yang bisa  mengangkat kondisi perekonomian setiap kepala keluarga yang telah  sedemikian psusing dengan kesemrawutan hidup.
Yang pasti, eksistensi KUD kreatif dan inovatif dalam konteks lokal  Jawa Barat sangatlah diperlukan oleh warga pedesaan. Sehingga dengan  berbagai bentuk pelayanan berkualitas, perekonomian warga pun bisa  terangkat ke posisi teraman dan mampu menghindar dari ancaman lubang  menganga bernama degradasi ekonomi. Seandainya pemerintah provinsi Jabar  bisa menauladani PSSI dalam menghapus “zona degradasi tim sepakbola”,  misalnya, dan diterapkan dalam sebuah kebijakan atraktif menghapus  “degradasi perekonomian”, saya kira riuh gemuruh tepuk tangan pun akan  terus-menerus terdengar.
Maka, saya kira perhatian pemerintah terhadap keberlangsungan tradisi  perekonomian yang berprinsip kekeluargaan dan kebersamaan untuk saat ini  mesti diprioritaskan, dalam hal ini keberlangsungan peran KUD dalam  kehidupan praktis masyarakat. Sebab, sebagai sebuah konsep perekonomian  rakyat, KUD adalah semacam perangkat yang tepat untuk mengembangkan  kualitas hidup warga pedesaan.
Tak arif rasanya kalau eksistensi warga pedesaan hanya dijadikan  “komoditas politik” sebagai kantong perolehan suara oleh para pengusung  calon Gubernur dan Bupati setiap kali pemilihan berlangsung. Namun  sayangnya, setelah pemilihan berakhir, maka warga pedesaan pun kembali  terlupakan.
Oleh : Sukron Abdilah

 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar